clock

Selasa, 20 Oktober 2015

Resensi Novel Aku, Juliet : Kisah Cinta Segitiga remaja berlatar tawuran antarsekolah

Kisah cinta segitiga, mungkin adalah tema paling populer dalam novel-novel roman. Jadi, untuk membuatnya tampil beda, tentu saja harus dimodifikasi dengan unsur lain, seperti setting, karakter, plot, dan sebagainya. Nah, novel karya Leyla Hana ini, menampilkan kombinasi yang cukup unik, yaitu kisah cinta segitiga remaja dilatarbelakangi tawuran antarsekolah ditambah adanya selipan analogi kisah percintaan paling masyhur : Romeo dan Juliet. 
Menurut saya, ini perpaduan yang cerdas, karena mengombinasikan tema stereotype dengan "trend" negatif yang belum juga sirna dari dunia pendidikan kita saat ini, ditambah unsur nuansa dongeng klasik. Lalu, bagaimana eksekusinya?


Novel ini memasang tiga tokoh sentral yaitu Camar, Bayu dan Abby. Camar dan Bayu bersekolah di SMA Juventia sedangkan Abby bersekolah di SMA Eleazar yang menjadi musuh bebuyutan SMA Juventia. Bayu adalah anak produk broken-home, dengan orang tua yang terlalu sibuk dan kurang perhatian, sehingga dampak psikisnya pada Bayu, ia menjadi sosok yang berusaha mencari perhatian dari lingkungan sekitarnya. Sayangnya, usaha capernya itu ditempuh dengan cara-cara yang kurang baik. 

Lalu ada Camar yang naksir Bayu, dan dalam perjalanan kisahnya, Bayu pun akhirnya menjadi kekasih Camar. Di sisi lain, Camar juga akrab dengan Abby dan merasakan suasana yang berbeda saat bersama dengan Abby, dibandingkan bersama Bayu yang posesif dan cemburuan. Berbeda dengan Bayu yang lahir dalam keluarga kaya, Abby seorang anak dari keluarga pas-pasan dan harus bekerja di toko donat sepulang sekolah.

Suatu ketika, Bayu memergoki Camar yang jalan berdua Abby. Dapet ditebak, si Bayu ngerasa cemburu, dan pada satu kesempatan, dia melampiaskan emosinya dengan menyerang dan memukul Abby. Tapi, pembalasan ini ternyata masih ada kelanjutannya, bahkan dalam suhu yang lebih tinggi dan pelampiasan yang lebih panas. Seperti apa? Nggak seru dong kalau diceritain di sini. So, baca sendiri deh ya :)
Ini typikal novel very fast reading. Alurnya mengalir lancar, pilihan diksinya nggak ribet dan dialognya juga ringan dan natural. Khas novel teenlit deh. Dari start buka covernya sampe kelar baca, saya iseng nengok jam, ternyata langsung tuntas dalam 20 menit! hehe. Andai semua novel typenya seperti ini dan tipisnya juga sama, dalam sehari saya bisa khatam lima novel kali ya? :D

Untuk penokohan, karakter si Bayu dan Camar terasa cukup dominan, terutama Bayu yang latar keluarganya lebih dieksplorasi. Sebaliknya dengan Abby, peran sosok yang satu ini, mungkin akan lebih "nonjok" kalau porsi penceritaan latar belakangnya juga sama besar dengan Bayu. Jadi nggak terkesan menjadi sosok yang dihadirkan untuk "dikorbankan" demi mencapai penyelesaian  cerita.

Trus, hubunganya dengan dongeng Romeo - Juliet? Ya pada cinta yang terhalang antara Camar dan Abby. Kalo pada kisah Romeo Juliet, penghalangnya adalah keluarga, pada novel ini, penghalangnya ya tembok sekolah yang bermusuhan itu. Unik 'kan analoginya? :)
 
Untuk solusi terhadap masalah tawuran itu sendiri, apa memang salah satu jalan keluarnya adalah dengan menyatukan kedua sekolah yang bermusuhan ya? Mungkin aja kali ya. Saya juga belum sempet browsing apa solusi seperti itu memang pernah dilakukan.  Kalau belum pernah, siapa tahu ke depan ada sekolah yang pingin nyoba untuk menguji efektivitasnya dalam menangkal tawuran.

Novel ini punya pesan yang bagus, bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan remaja, termasuk tawuran, salah satu pemicunya adalah ketidakharmonisan dan kurangnya perhatian dalam keluarga. Apalagi dalam perkembangan dewasa ini, makin sedih dan miris deh, karena kekerasan juga dilakukan oleh anak usia SD kepada teman sebayanya. Rasanya beban moril dan tanggung jawab sebagai orang tua jadi tambah berat. Kalau salah mendidik, salah-salah anak bertumbuh jadi pelaku kekerasan. Bener pun dalam mendidik, eh diluar sana, si anak juga terancam jadi korban perilaku kekerasan dari temen-temennya yang salah didik. Eh ini kok malah curcol ya? :p  

Oke deh review ini saya cukupkan sampai di sini. Terima kasih buat Moka Media yang sudah mempercayakan saya mereview salah satu novel terbitannya. Dan salam sukses buat Leyla Hana. Kayanya emang udah pas deh track-nya di novel teenlit :)
Judul        :  Aku, Juliet
Penulis     :  Leyla Hana
Penerbit   :  Moka Media
Terbit       :  2014
Hal          :  180 hal

Kalau Bukan Remaja, Jangan Baca Novel Ini!

___raksasa dari jogja 031012 front

Judul Buku : Raksasa Dari Jogja
Penulis : Dwitasari
Penerbit : Plotpoint Publishing (PT Bentang Pustaka)
Tahun Terbit : 2012
Tebal : 270

Pertama-tama aku mau ngucapin makasih sama Rahib BBI (udah pada tau dong siapa? hehe) yang udah ngasih buku ini ke aku (oh iya, makasih juga random.org!). tanpa mengurangi rasa hormat ke siapaun, aku bakal mereview buku ini sejujur-jujurnya (baca: sesadis-sadisnya).
Sebelum ngereview buku ini, aku search di Goodreads dulu mengenai rate buku ini. Aku pengen tahu aja gimana penilaian orang yang udah pada baca. Apakah sama dengan pandangan aku atau nggak. Dan ternyata, sama loh! Banyak yang hanya me-rate 2 bintang, bahkan yang rate 1 bintang pun ada. Dan banyak! Ada 1-2 orang yang me-rate bintang 4. Entah apa alasannya me-rate 4. Well, itu selera sih. Tapi, ketika membaca penilaian orang lain di Goodreads itu, aku jadi sedikit lega ternyata nggak Cuma aku yang sesadis itu me-rate 2 bintang. Muhehe. *kibarkan bendera YNWA*
Dari review orang-orang di Goodreads pun aku jadi tahu kalo ternyata si penulis adalah selebtweet. “Jiyah. Pantesan!” Begitu gumamku saat mengetahui kalau Dwitasari ini seorang selebtweet. Bukan underestimate atau apa yah. Belakangan ini kan banyak fenomena buku terbit hanya karena lantaran si penulis itu selebtweet. Yang kebanyakan kita tahu seperti apa UMUMNYA kualitas buku karya selebtweet itu. Aku pernah membaca beberapa buku punya selebtweet.
Penilaian aku rata-rata sama. Well, jam terbang memang nggak bisa dibohongi sih. Sangat disayangkan, padahal Dwita ini mahasiswi jurusan sastra Indonesia UI loh (eh, jaminan gak sih? Gak ya kayaknya). Hehe.
Udah ya. Itu anggap aja pembukaan atau behind the scene. Sekarang mari kita masuk ke review yang sesungguhnya. *tsaaahhh bahasa gue*
Disclaimer : aku nggak akan cerita panjang lebar soal synopsis buku ini. Karena jalan ceritanya terlalu biasa dengan konflik yang biasa pula.
Ceritanya tentang seorang cewek bernama Bianca lulusan SMA yang memutuskan untuk kuliah di Jogja. Bianca ini nggak percaya dengan yang namanya cinta. Ia benci jatuh cinta. Karena menurut dia, yang namanya “jatuh” itu ya sakit. Bapaknya melakukan KDRT terhadap dirinya dan mamanya, sahabatnya mengambil cowok yang disukainya, hal-hal itu membuatnya tidak percaya cinta. Sampai suatu hari di Jogja ia bertemu dengan seorang cowok yang mengasihinya dengan lembut. Bianca mulai membuka hatinya untuk cinta. Namun ternyata cowok itu punya masa lalu yang misterius yang lagi-lagi membuat Bianca terluka dan semakin tidak percaya cinta.
Kesan pertama baca buku ini… mmm keren! Kavernya keren, desain interior bukunya keren, nama tokoh-tokohnya keren. Dan ada sedikit ilustrasi di kop judul setiap bab yang menambah keren. Pokoknya menurut saya ini kaver anak muda banget deh. 1 bintang deh untuk kaver dan fisiknya. Oh iya, plus ada bonus bookmark berbentuk hati yang cukup bagus juga menurutku.
Hal paling menonjol yang aku rasakan saat baca buku ini yaitu logic check di buku ini tuh kayaknya nggak ada deh. Aku jadi bingung sendiri. Buku ini t uh punya editor nggak sih? Di halaman depan sih tertulis siapa “Pemeriksa Aksara”, tapi melihat banyaknya typo yang bukan sekedar typo, bikin aku merasa buku ini pasti nggak melalui proses pengeditan yang baik. Banyak banget hal-hal yang di luar logika menurutku.
Pertama, Bianca ini kan tadinya tinggal sama ortunya. Mamanya setiap hari harus jadi korban kemarahan papanya. Bianca yang menyaksikan itu setiap hari pasti tau gimana menderitanya sang mama karena gak jarang dirinya juga suka jadi sasaran kemarahan papanya. Di halaman awal Bianca terlihat nggak mau pisah dari mamanya. Akan selalu melindungi mama dan lain sebagainya. Eh tapi kok bisa-bisanya dia pas tau pengumuman keterima di kuliah di Jogja teriak seneng banget. Begitu tinggal di Jogja juga dia jarang menelepon mamanya. Maksud aku, aduuuh, kok tega sih ninggalin mamanya sendirian di rumah? Entah ya, kalau aku jadi Bianca, aku pasti gak akan ninggalin mamaku sendirian dengan papa yang temperamen kayak gitu. Plus, Bianca punya adek yang tinggal sama neneknya. Ya masak gak pernah nanya kabar adeknya barang sekali-dua kali. Egois banget.
Kedua, masih soal mamanya. Waktu ditinggal Bianca ke Jogja, mamanya itu bilang masih mau mempertahankan keluarganya. Mama gak mau cerai dari papa. Mama gak akan minta cerai dari papa. Dari sini tuh aku merasa mamanya ini udah cinta banget sama papanya. Um, oke. Wajar. Tapi pas jalan cerita berangsur-angsur maju, mamanya ini plin plan abis. Dia menelepon Bianca meraung-raung katanya udah gak tahan dengan semua ini. Laaahhh… (aku sampe komen : rasalin lo ma!) um, oke deh. Masih maklum. Mungkin mamanya baru sadar kalau papanya itu jahat. Tapi gak berapa lama setelah itu, mamanya labil lagi. Bilang masih sayang sama papa lah atau apalah. Adoooh… Arrrgh! (garuk-garuk dasar laut jawa)
Ketiga, sosok Kevin, sepupu Bianca yang udah deket banget dari kecil. Aduuuh speechless deh sama cara penulis menggambarkan tokoh yang satu ini. Di mata aku, sosok Kevin itu banci dan childish abis. Si Biancanya juga lebay maksimal. Menurut aku, penulis gagal membangun karakter yang ia mau. Seharusnya mungkin Bianca diciptakan sebagai cewek yang dingin dan cuek karena latar belakangnya yang membenci cinta. Tapi di sini, sosok Bianca yang aku dapet malah kekanak-kanakan dan manja. Aku juga melihat Kevin itu sebagai cowok yang sakit jiwa. Cemburuan nggak jelas, padahal bukan pacar Bianca. Sorry to say.
Keempat, hubungan antara Bianca dan Letisha (sahabat baiknya). Aduh ini udah seaneh-anehnya dari yang paling aneh di buku ini. Jadi ada satu setting cerita, di kamar Bianca. Pokoknya mereka lagi membicarakan cowok. Nah, tiba-tiba di Bianca nanya pendapat Letisha soal Joshua. Lethisa ini jawabnya lancer banget. Bianca mikir si Letisha ini suka sama Joshua. Dan bener aja, gak berapa lama, Letisha dan Joshua akhirnya jadian. Terus si Bianca marah. Berpikiran kalau Lethisha nusuk dia dari belakang. Lah? Sumpah bingung aku. Bianca sendiri nggak pernah bilang kalau dia suka Joshua kok. Antara Bianca dan Joshua juga ga pernah ada apa-apa. Malah si Letisha ini sampai dibilang Jalang dan brengsek segala. Jangan salahin Letisha dong. Wong Bianca aja gak pernah ngomong dia suka sama Joshua kok. Aduuuh, lama-lama aku sakit jiwa baca buku ini. Aneh abis. Coba seandainya penulis lebih mengeksplor gimana perasaan Bianca ke Joshua dan gimana hubungan mereka bertiga sebenernya.
Hubungan antara Bianca dan Vanessa, teman sekamarnya waktu ada camp di awal perkuliahan. Kok bisa sih Vanessa ini manggil Bianca dengan sebutan “Mbak”. Padahal kan jelas mereka satu angkatan. Lha wong diospek bareng-bareng gitu loh. Dan Bianca ini judes banget. Sempet negative thinking sama Vanessa. Ga penting banget pokoknya penggambaran sikapnya itu. Pointless. Terus ya bisa-bisanya tau-tau si Bianca manggil Vanessa dengan  “Nessa”. Kalau aku ya, aku pasti bakal nanya dulu biasa dipanggil apa. Gak asal sebut nama panggilan aja. Proses-proses kecil kayak gItu yang kurang dijabarkan sama penulis. Yang bikin cerita jadi kurang logis. *abaikan*
Kelima, karena penulis mahasiswi sastra, maka gak heran kalau bahasa yang digunakan di buku ini termasuk nyastra dan indah. Cuma kok yah, jadi terkesan maksa pengen setiap kata jadi indah, alhasil malah jadi annoying buat pembacanya dan terkesan lebay. Coba seandainya sesekali aja penulis menulis sesuatu sastra yang indah itu. Pasti lebih ngena dan berkesan dibanding harus “maksa” nulis di setiap kalimat. Ini bukan buku kumpulan puisi kan?
Keenam, cerita ini terkesan kayak penyanyi yang nyanyi terburu-buru gak sesuai tempo dengan maksud supaya lagunya cepat selesai. Yah, jadinya gitu. Gak dapet emosinya. Datar aja sepanjang baca. Kurang detail gimana awalnya si cowok yang di Jogjabisa naksir sama Bianca, terus kenapa Bianca bisa suka sama Joshua (gebetan jaman SMAnya dulu). Padahal mungkin kalau mau didetail soal itu, bisa jadi sedikit lebih menarik (mungkin) ceritanya.
Ketujuh, (wew banyak amat udah tujuh aja) *elap keringet di dahi*. Aku terganggu dengan kesalahan penggunaan tanda baca. Entah salah, entah gak dan atau kurang tepat ya. Seharusnya ada tanda Tanya, malah jadi tanda titik aja. Yang seharusnya tanda titik, malah jadi tanda seru. Hal-hal kayak gini bukan sepele loh. Karena itu sedikit banyak mempengaruhi imajinasi pembaca dalam menginterpretasikan emosi tokoh-tokohnya. Kemudian pada saat dialog. Sering hanya ditulis begini doang :

“Aku udah lakuin itu, Nessa.”
“Kamu harus tetap berjalan.”
“Enggak peduli hasilnya gimana?”
“Enggak peduli hasilnya gimana!”
“Capek kalau hasilnya nggak berkembang, Nes”
“Lebih capek lagi kalau jalan di tempat.”

Aduh, bahasa chatting banget gak sih? Daripada ngerepotin pakai tanda “petik” segala, mending ditulis gini aja.

Bianca : Aku udah lakuin itu, Nessa
Nessa : Kamu harus tetap berjalan
Bianca : Enggak peduli hasilnya gimana?
Nessa : Enggak peduli hasilnya gimana!

See? Toh sama-sama aja. Kelihatannya sepi malah kalau ditulis pakai tanda kutip begitu. Kayak kehabisan kata-kata mau dikasih embel-embel apa setelah tanda kutip. Biasanya kan “Ia berkata” atau “katanya”. Dan itu hampir di setiap dialog. Entah malas, entah miskin. Hhh!
Juga ketidakkonsistenan adanya footnote. Setting di jogja membuat dialog dalam buku ini sedikit mengandung bahasa daerah. Di awal-awal, disertakan footnote yang penulisannya agak gak biasa.

1.    Bahasa jawa: sendhiko dalam bahasa Indonesia berarti bersedia
1.    Bahasa Jawa : lali nek dalam bahasa Indonesia berarti lupa kalau
2.    Bahasa jawa : piye dalam bahasa Indonesia berarti bagaimana

Nyeh. Capek gak sih bacanya? Lebih praktis kalau tinggal nulis aja langsung
1.    Bersedia
1.    Lupa kalau
2.    Bagaimana

Entah apa itu justru penulisan footnote yang bener apa gimana, yang jelas baru kali ini aku baca footnote yang se-“menggurui” itu. Plus ga konsisten. Ke halaman belakang dan makin ke belakang, ada dialog yang pakai bahasa jawa juga tapi aku ga menemukan footnote halaman itu. Sangat disayangkan ada kata-kata “Asu” dalam dialog tapi gak ditulis di footnote apa artinya. Hehehe. Itu juga typo tuh nulis footnotenya. Udah footnote 1, kok nomor 1 lagi. Editornya manaaaaaaa???!!!
Dah ah, cuapek. Btw. Ini review terpanjang dalam sejarah yang pernah aku buat. Hahaha. Emang yah orang tuh kalo caci maki emang paling jago deh. Muhahaha!
Novel ini kalau dibaca pada waktu aku umur 15-16 mungkin akan aku bilang bagus yah. Tapi di umur yang sudah tidak lagi muda ini, agak nyesel juga baca buku ini. Malah jadi nyinyir. Hahahay!
At the end, tetep sih aku kasih 2 dari 5 bintang untuk kavernya yang oke dan penggunaan kata-kata yang puitis. Tapi inget, puitis kalo terlalu banyak, jatohnya malah jadi norak. Emang kan, yang serba “terlalu” itu nggak baik.

NB : kenapa judulnya “Raksasa Dari Jogja”? Karena saat di Jogja, Bianca (tokoh utamanya) suka sama cowok tinggi 196cm sedangkan dia hanya sekitar 165 cm